Kamis, 06 Oktober 2011

Bahasa Indonesia 3

Contoh Wacana pada Tataran Non Ilmiah :
Sendiri
Aku merasa rendah diri. Aku merasa tak punya kemampuan apapun dari segala bidang. Apa yang bisa kulakukan? Aku seperti orang tak berguna. Mungkin… telah lama aku kehilangan rasa percaya diriku, dan aku tak menyadarinya.
Bagaimana caraku untuk mendapatkan rasa percaya diriku kembali? Sebenarnya aku trauma dengan apa? Aku takut dengan apa? Oh! Aku bingung! Astaghfirullah…
Aku seperti menangis sendiri kesepian di dalam tiap senyumku. Oh… aku benar-benar merasa bagai orang tak berguna! Aku masih belum bisa mengatasi perasaan minderku sendiri. Bagaimana ini ya Allah?
Sampai di usiaku yang telah menginjak 16 tahun ini aku masih bingung. Apa keistimewaanku? Aku hanyalah seorang perempuan yang rapuh… dan tak punya keistimewaan apapun. Astaghfirullahal’adzim… Astaghfirullah… Astaghfirullah… Kemanakah semangatku yang membara itu pergi?
Setiap orang pasti punya kelebihan dan kekurangan. Aku masih punya banyak kekurangan. Tapi… aku sangat bangga menjadi orang Islam. Menjadi seorang muslimah… apakah itu dapat disebut sebagai kelebihan? I don’t know!
* * *
Seperti pada hari-hari sebelumnya, matahari terbit menyinari bumi. Alhamdulillah. Waktu terus berputar tanpa menghiraukan orang-orang sekitar. Tak terasa waktu pulang sekolah telah diambang pintu.
Kembali aku tersenyum kepada dunia yang telah 16 tahun ‘membesarkanku’. Tak seperti biasanya, hari ini sepulang sekolah aku makan soto di warung. Ditraktir. Berlanjut ke jalan-jalan menyusuri jalanan kota dengan naik bus.
Bersama ke-6 kawanku, kami menjejakkan kaki ke swalayan ternama di kota kami. Minum es teh bareng (satu cup es teh buat rame-rame), makan donat unil bareng, makan rujak bareng. Wah! Subhanallah… memang sangat nikmat ya bila kita berbagi. Apalagi menghabiskan waktu bersama dengan yeman-teman, benar-benar terasa seru dan asyik!
Sepulangku dari swalayan ternama tersebut, aku turun di Krapyak setelah naik bus jurusan Mangkang. Kemudian menanti bus jurusan Pasadena. Oh! So long!
Tiba-tiba tanpa kusadari, muncul seorang nenek yang berjalan dengan tertatih-tatih. Nenek tersebut membawa sejumlah barang belanjaan di punggungnya. tersentuh hatiku untuk menuntun si nenek. Ketika kutuntun, nenek tersebut meminta uang Rp 1000,- kepadaku untuk tambahan ongkos naik becak. Tanpa ragu langsung kuberi Rp 2000,-. Aku kembali menuntunnya sampai ke pangkalan becak motor. Setelah hampir dekat ke pangkalan becak motor, nenek tersebut berkata kalau ternyata duitnya masih kurang. langsung kuberi Rp 2000,- lagi. Alhamdulillah aku ada uang untuk diberikan ke nenek tersebut.
Sampai di depan becak motor yang akan dia tumpangi, aku membantu meletakkan belanjaannya ke atas becak motor tersebut. “Matur nuwun yo, nduk!” ,ucap si nenek. “Nggih, sami-sami mbah.” jawabku sambil tersenyum.
“Dek, ayo naik sekalian.” ucap Pak pengendara becak motor itu menawariku.
“He-eh, nduk. Sekalian aja.” ucap si nenek juga menawariku. Dan akhirnya aku ikut numpang sekalian. Karena sewaktu aku menuntun si nenek menuju pangkalan becak motor, ada bus jurusan Pasadena lewat (bus yang tadi kunanti).
Si nenek turun di jembatan dekat kawasan. “Matur nuwun yo, nduk.” ucapnya sambil tersenyum.
“Nggih, mbah.” jawabku. “Cah iki ter no tekan kono yo! Eh… tulung iki gendongno!” ucap si nenek menyuruh pak ojek (becak motor) untuk mengantarku, terus si nenek minta tolong supaya belanjaannya ditaruh di punggungnya.
“Makasih ya, Pak!” ucapku setelah turun dari becak motor. “Ya!” jawab Pak Ojek.

Contoh Wacana Semi Ilmiah :
KELAPARAN JADI PERHATIAN SERIUS

Indeks Kelaparan Dunia (GHI) tahun 2008 menunjukkan bahwa kelaparan masih merupakan perhatian serius di dunia dan terjadi perkembangan lambat dalam mengurangi keamanan pangan. Negara yang memiliki nilai GHI tertinggi kebanyakan berada di wilayah Sub-Saharan Africa dan Asia Selatan. Negara di daftar paling bawah meliputi Republik Demokrasi Kongo, Eritrea, Burundi, Republik Niger, dan Sierra Leone. Hal ini merupakan beberapa penemuan yang tertuang dalam “The Challenge of Hunger 2008: Global Hunger Index” yang dipublikasikan oleh Welthungerhilfe, International Food Policy Research Institute (IFPRI), dan Concern Worldwide. Klaus von Grebmer dan rekannya menyimpulkan bahwa pemecahan krisis pangan tersebut akan memerlukan beberapa inisiatif seperti bantuan pangan lebih bagi masyarakat miskin,
investasi lebih besar dalam bidang pertanian, dan batasan untuk menenangkan pasar pangan global.

Sumber : http://muthiah-muthiah.blogspot.com/2010/10/wacana-semi-ilmiah.html

Bahasa Indonesia 1

Mengapa bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia ?

Alasan mengapa bahasa melayu diangkat menjadi bahasa melayu dikarenakan berdasarkan dari waktu penggunaannya.
Ragam bahasa Indonesia lama dipakai sejak zaman Kerajaan Sriwijaya
sampai dengan saat dicetuskannya Sumpah Pemuda.
Ciri ragam bahasa Indonesia lama masih dipengaruhi oleh bahasa Melayu .
Bahasa Melayu inilah yang akhirnya menjadi bahasa Indonesia.
Alasan Bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia :
1) Bahasa Melayu berfungsi sebagai lingua franca,
2) Bahasa Melayu sederhana karena tidak mengenal tingkatan bahasa,
3) Keikhlasan suku daerah lain ,dan
4) Bahasa Melayu berfungsi sebagai kebudayaan.
Bahasa-bahasa yang tersebar di dunia ini tidak hanya tumbuh dalam seting historis tertentu, tetapi juga berkembang berdasarkan interaksi dengan lingkungan sosial tertentu yang bersinggungan antar ruang dan waktu. Ini yang menyebabkan terjadinya saling mempengaruhi dalam penggunaan bahasa. Perkembangan historis itu dapat dilihat dari asal usul bahasa yang merupakan alat komunikasi antar orang yang berkembang dari bahasa isyarat ke kata-kata yang semakin komunikatif.
Perkembangan itu juga berlangsung dalam satu ruang social. Perubahan-perubahan ruang yang terjadi telah menyebabkan satu bahasa bertemu dengan bahasa lain. Daerah perbatasan, misalnya mempertemukan suatu tempat dengan tempat lain, saling pengaruh antar bahasa terjadi dengan intensitas yang melebihi daerah-daerah lain. Pertemuan itu menyebabkan saling pengaruh dan memperkaya khasanah bahasa masing-masing, sehingga itudapat memperkaya perbendaharaan kata baru.
Perkembangan bahasa dalam konteks tersebut di atas memiliki tiga bentuk: pertama perkembangan bahasa yang dipengaruhi oleh interaksi antar daerah; kedua perkembangan yang bahasa disebabkan oleh interaksi antara satu bahasa daerah dengan bahasa daerah yang lain; dan yang terakhir, perkembangan bahasa yang diakibatkan oleh pertemuan bahasa ini dalam konteks yang lebih luas (Irwan Abdullah, 2007).
Menurut ahli etnologi dan filologi, bahasa Melayu termasuk bahasa Austronesia, berasal dari Kepulauan Riau (Sumatera) telah mengalami proses perkembangan seperti itu. Mula-mula bahasa ini hanya dipercakapkan terbatas oleh penuturnya di Riau dan sekitarnya. Secara kebetulan, karena kepulauan ini terletak di jalur perdagangan yang sangat ramai di selat Malaka; dan penduduknya sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan atau pedagang antar pelabuhan; serta bahasanya mudah dipahami atau komunikatif; maka penutur bahasa Melayu sering berinteraksi dengan penutur bahasa yang lain (seperti bahasa Hindi, Malagasi, Tagalok, Jawa, dan lain-lainnya) sehingga menjadi dikenal dan berkembang di Malaka dan daerah-daerah sekitarnya (Vlekke, 2008: 11). Akhirnya bahasa ini tidak hanya digunakan oleh para pedagang di sekitar perairan Malaka, tetapi juga di seluruh Nusantara. Pada Zaman Kerajaan majaphit, atau diperkirakan sebelum abad XV, bahasa Melayu itu telah menjadi lingua franca – bahasa dagang - bagi para saudagar di pelabuhan-pelabuhan di Asia, Asia Tenggara, dan Asia Timur (Ricklefs, 1991: 77; Linschoten, 1910: Bab IV)
Pada bulan Agustus 2002, bahasa Melayu – dianggap banyak penuturnya di dunia - pernah ditulis di dalam salah satu surat khabar di Malaysia bahwa bahasa Melayu menduduki posisi keempat dalam urutan bahasa utama dunia, setelah Bahasa Tionghoa, Inggris, dan Spanyol. Menurut James T. Collins, hal itu tidak betul. Ia mengatakan bahwa jumlah penutur bahasa Melayu di seluruh dunia hanya 250 juta orang, sedang penutur bahasa Hindi – yang menjadi bahasa ibu maupun bahas kedua (ketiga) di India dan di negara lain seperti di Mauritius, Afika selatan, Yaman, dan lain-lain pada thun 1988 – berjumlah 300-435 juta orang (J.C. Collins, 2009, hal. 14-21).
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa bahasa melayu mempunyai peranan yang sangat penting di berbagai bidang atau kegiatan di Indonesia pada masa lalu. Ini tidak hanya sekedar sebagai alat komunikasi di bidang ekonomi (perdagangan), tetapi juga di bidang sosial (alat komunikasi massa), politik (perjanjian antar kerajaan), dan sastra-budaya (penyebaran agama Islam dan Kristen) (Suryomihardjo, 1979, hal. 63). Di Indonesia banyak karya sastra berbahasa Melayu, di antaranya seperti Hikayat Raja Pasai, Sejarah Melayu, Hikayat Hasanudin, dan lin-lain.
Contoh bahasa Melayu tertua yang dapat disajikan di sini adalah bahasa Melayu Kuno dari zaman Sriwijaya. Poerbatjaraka, di dalam bukunya Riwayat Indonesia, mengungkapkan transliterasi aksara Latin dari prasasti pada zaman itu. Dari prasasti Talang Tuwo yang bertahun 684 Masehi yang terdiri atas 14 baris, kita kutip baris ke-6 yang berbunyi “ah ya mamhidupi pasuprakara, marhulun tuwi wreddhi muah ya jangan ya niknai sawanyaknya yang upasargga, pidanna, swapnawighna, waram wua-“
Secara sayup-sayup, kita mengenali beberapa kata seperti mamhidupi, jangan, sawanyaknya. Terjemahan baris ke-6 itu adalah “pula menghidupi segala jenis khewan, terutama supaya menjadi banyak. Lagi janganlah mereka dikenai segala rintangan, aniaya, dan gangguan tidur. Barang siapa yang” Selain prasasti Talang Tuwo, masih terdapat sejumlah prasasti dari zaman itu sampai ke zaman abad ke-13. Beberapa kutipan adalah sebagai berikut.
Pada prasasti Kedukan Bukit (tahun 683 Masehi, 10 baris) terdapat kata-kata “dapunta hyang marlapas dari minanga tamwam mamawa yang wala dua laksa dangan kosa” Pada prasasti Talang Tuwo (tahun 684 Masehi, 14 baris) tersebut di atas terdapat kata-kata “sana tatkalanya parlak sriksetra ini niparwuat … samisranya yang kayu nimakan wuahnya” Pada prasasti Kota Kapur (tahun 686 Masehi, 10 baris) terdapat kata-kata “subhiksa muah yang wanuanya pawaris … tatkalanya yang mangmang sumpah ini nipahat di welanya yang wala sriwijaya kaliwat manapik yang bhumi jawa tida bhkati ka sriwijaya” Demikianlah beberapa kata sebagai perkenalan kepada bahasa Melayu Kuno.
Sebagai contoh dari bahasa Melayu Klasik di dalam prasasti tahun 1286 terdapat kata-kata “inan tatkala paduka bharala,” serta di dalam prasasti tahun 1380 terdapat kata-kata yang berbunyi “hijrat nabi mungstapa yang prasida / tujuh ratus asta puluh sa warsa / haji catur dan dasa wara sukra / raja iman warda rahmat-allah / gutra barubasa mpu hak kadah pase ma /” Dan selanjutnya dari prasasti tahun 1602 ditemukan kata-kata yang segera kita kenali artinya “aku raja yang kuasa yang di bawah angin yang memegang takhta …” Di bawah angin adalah sebutan untuk Melayu di rantau seperti di Malaka.
Pada 1779 terdapat kumpulan adat yang dikenal sebagai Adat Raja-raja Melayu. Sebagai contoh, di dalamnya kita temukan kata-kata, “Alkisah peri menyatakan adt segala raja-raja Melayu yang purbakala, raja yang besar-besar, tatkala isteri Baginda itu hamil.” Pada bagian akhir kita temukan kata-kata, “Demikianlah adapt segala raja-raja Melayu. Tamat kepada dua likur hari bulan Syakban hari Isnin jam pukul sepuluh dan yang punya surat ini tuan Raja Pakur. Sanat 1232.” Di sini sanat adalah tahun Hijrah.
Tampaknya pada zaman Sriwijaya dengan bahasa Melayu Kuno telah dikenal sejumlah awalan, akhiran, dan sisipan. Terdapat awalan mar- atau war- seperti pada kata marppadah, waranak, atau warpatih yang sekarang berubah menjadi awalan ber-. Pada zaman itu dikenal juga awalan ni- seperti pada kata niminum, niparwuat, nimakan, dan niwunuh yang kini berubah menjadi awalan di-. Pada zaman itu terdapat sisipan –in- seperti pada kata winunuh yang kini dihidupkan kembali dalam bentuk kata kinerja, kinasih, dan sinambung.
Kata akan tertentu pada zaman itu, kini berubah menjadi akhiran –kan sedangkan imbuhan –nda seperti pada kata ananda, ayahanda, ibunda sudah dikenal sejak zaman Sriwijaya. Demikian pula, pada zaman itu kita mengenal banyak kata yang seperti pada kata yang wala, yang kayu, yang nivava, yang nitanam, yang manyuruh, dan kata lain semacam itu. Pada zaman sekarang pun kata yang masih digunakan seperti pada kata yang dipertuan agung, yang mulia, yang terkasih, dan yang terhormat.
Selanjutnya seperti dikemukakan oleh J.J. de Hollander di dalam bukunya Pedoman Bahasa dan Sastra Melayu bahwa tulisan Melayu Klasik sejak akhir abad ke-13 telah menggunakan huruf Arab. Sekalipun demikian terdapat lafal Arab yang tidak dikenal di dalam bahasa Melayu serta sebaliknya terdapat lafal Melayu yang tiada huruf Arabnya. Karena itu, diciptakanlah huruf Arab khusus untuk bahasa Melayu. Berangsur-angsur melalui pengaruh Portugis dan Belanda, mulai muncul bahasa Melayu yang ditulis di dalam bahasa Latin, di antaranya, terdapat kamus bahasa Melayu.
Bahasa Melayu Peralihan pada abad ke-19, selain ditulis dalam huruf Arab, sudah mulai ditulis dalam huruf Latin. Sejak akhir abad ke-19, mulai berkembang bahasa Melayu Rendah yang dikenal sebagai bahasa Melayu Cina. Muncul sejumlah penyair Cina yang menulis syair dalam bahasa Melayu, seperti syair Djalanan Kereta Api oleh Tan Teng Kie. Selah satu pakar yang terkenal mempromosikan bahasa Melayu Cina adalah Lie Kim Hok. Dan pada awal abad ke-20, bahasa Melayu Cina ini makin berkembang melalui surat kabar Sin Po. Banyak ceritera yang ditulis di dalam bahasa ini sebagai hasil karya para sastrawan Cina Indonesia. Bahasa ini bertahan sampai awal tahun 1950-an.
Pada tahun 1901, kita mengenal ejaan van Ophuijsen yakni ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin yang dibakukan. Kemudian melalui pendirian Balai Pustaka, pada tahun 1917, dikembangkanlah bahasa Melayu Tinggi yang disusul dengan sejumlah karangan klasik seperti Salah Asuhan, Siti Nurbaya, dan sejenisnya. Pada tahun 1928, melalui Sumpah Pemuda, bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa Indonesia. Pada tahun 1938, di Solo, diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia Pertama dan disusul dengan Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan pada tahun 1954. Kini secara teratur Kongres Bahasa Indonesia diselenggarakan lima tahun sekali. Dan Kongres Bahasa Indonesia ke-8 akan berlangsung pada bulan Oktober tahun 2003.
Pada tahun 1947, ketika Suwandi menjadi Menteri Pendidikan, diadakan perubahan ejaan bahasa Indonesia yang dikenal sebagai ejaan Suwandi. Setelah Malaysia merdeka, mereka menyusun ejaan bahasa Malaysia yang berpedoman kepada ejaan bahasa Inggris. Kemudian terjadi pendekatan di antara pakar bahasa Indonesa dan pakar bahasa Malaysia. Sekalipun istilah yang digunakan oleh bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia masih banyak yang berbeda, namun mereka berusaha untuk menyamakan ejaannya. Kesamaan ejaan itu muncul pada tahun 1972 dalam bentuk EYD.
Kini EYD sudah berumur lebih dari 30 tahun. Ada baiknya kita semua memperhatikan EYD di dalam berbagai tulisan kita. Penutur bahasa Inggris sudah memperhatikan ejaan dan tata bahasa secara ketat. Penutur bahasa Indonesia dapat mengikuti jejak mereka untuk melahirkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.