Jumat, 04 November 2011

Kamera Analog


Fun. Mungkin kata itu yang bisa melukiskan perasaan saya ketika menggunakan (lagi) kamera analog. Bukan berarti kamera digital kurang fun. Sama sekali tidak. Kamera digital memiliki fun tersendiri buat saya.Kesenangan apa yang saya dapat dengan kamera analog? Tidak seperti dulu ketika saya pertama kali menggunakan kamera. Ada objek, bidik, yak foto! Tidak memikirkan aspek cahaya dan objek yang difoto. Yang jelas, sekarang saya harus berfikir dan menggambar objek yang mau difoto dalam pikiran saya sebelum menekan tombol pelepas rana. Ini melatih kepekaan dalam memotret dan dituntut untuk tidak motret asal-asalan.
Berhubung kamera yang sedang saya gunakan ini manual, tidak ada jalan lain ketika memotret saya hanya berpedoman pada light-meter yang terdapat dalam kamera ini. Terkadang hasilnya miss dari apa yang dianjurkan oleh kamera. Untuk itu saya mulai membiasakan memotret objek yang sama tiga kali berturut dengan setelan berbeda. Biasanya hanya (salah satu) berkisar antara shutter speed (kecepatan rana) dan apperture (diafragma). Foto di atas itu saya motret diri sendiri memanfaatkan pantulan cermin. Ini ketika menyambangi kos si Ikez waktu saya pulang ke Bandung. Kondisi kamar cukup gelap, hanya diterangi lampu neon (entah berapa watt) yang tidak disarankan untuk memotret dengan kondisi penerangan seperti ini pada ISO rendah tanpa lampu kilat — damn, i hate blitz.
Dari segi biaya produksi jelas sekali kamera analog makan biaya yang tidak sedikit. Filmnya saja sekarang berkisar antara Rp. 17000 ,- s/d Rp. 22000,- (film warna dan tidak kadaluarsa). Ongkos cuci antara Rp. 5000,- s/d Rp. 8000,- dan ongkos cetak ukuran 4R sebesar Rp. 550,- per/lembar (harga ini bervariasi). Untuk memotret/hunting foto minimal bawa 2 – 3 rol film. Untuk dokumentasi event(kenduri, pernikahan, seminar) bisa lebih dari 3 rol. Jadi saya rasa cukup mahal. Cuci-cetak foto sendiri pun harus merogoh kantong lebih dalam. Selain peralatan yang cukup mahal, bahan-bahan kimia untuk kepentingan cuci dan cetaknya pun tidak murah. Faktor inilah yang sering membuat orang berpindah dari analog ke digital.Kamera digital jauh lebih praktis dan sangat murah dari sisi ongkos produksi. Hasil foto terekam dalam kartu memory.
Kalau hasil foto jelek tinggal hapus, lalu foto lagi. Ekonomis. Yang perlu diperhatikan adalah kemampuan kamera bila hasilnya hendak dicetak pada kertas foto. Makin tinggi megapixels-nya maka hasilnya ketika dicetak ukurannya bisa maksimal tanpa gambarnya pecah. Contohnya kamera dengan kemampuan 6.1 MP, bisa dicetak secara optimal untuk foto ukuran 10.02 inch x 6.67 inch dengan kerapatan 300 ppi (pixels per inch). Kamera digital SLR bagus untuk belajar. Dengan syarat setelannya dibuat manual. Agar mudah memahami prinsip-prinsip cahaya dan tidak ragu untuk mencoba motret, bereksperimen. Mudah menghapus gambar yang jelek atau gagal tanpa harus ada beban. Cara kerja kamera mirip dengan mata manusia, tapi yang pasti kamera mampu menangkap warna yang tidak bisa ditangkap oleh mata normal dengan memainkan kombinasi shutter speed dan apperture.
Bicara soal hasil pemotretan, saya memilih hasil dari kamera analog. Sejauh ini, hasil cetakan dari kamera analog belum mengecewakan saya, dan bisa diperbesar sampai seluas dinding rumah (jika enlargernya memungkinkan). Hasil kamera digital bagus bila dilihat lewat monitor komputer. Tapi agak kurang bila dicetak lewat printer. Mungkin medianya, ya? Kertas dan printernya. Atau cara mencetaknya? Saya masih harus banyak belajar soal ini. Begitu juga ketika hasil cetakan foto dari kamera analog dipindai melalui mesin pemindai, hasilnya tidak begitu baik. Terlalu grainy dan noise lumayan ganggu. Tapi bisa diperbaiki lewat program pengolah gambar.
Sebagai penutup, saya ingin berbagi hasil foto kamera analog saya. Meskipun ini dicuci dan cetak di kamar gelap, namun proses leveling dan desaturasi masih menggunakan adobe photoshop. Ini hasil pemindaian film negatif. Saya kurang klop dengan metode ini sebetulnya. Terlalu grainy dan noise tinggi.


3 komentar:

  1. Manteb gan kadang2 ane juga masih kangen2an ama kamera yashica ane tipe fx-3 super 2000 buat ngasah feeling n lampiasin hobi ane, kalo buat nyari duit sih ane tetep pake kamera digital nikon ane aja hehehe buat neken costnya

    BalasHapus
  2. mantap tenan mas, memang kamera analog lebih terasa sensasinya daripada kamera digital, apalagi jika metering mati..

    BalasHapus
  3. coba ganti warna font nya bang bikin susah baca kalo pake warna ini terus type font nya pake yang biasa aja agar mudah terbaca kalau artikel gini mah biasa nya cocok nya pake yang type serif aja bang makasih sekedar masukan

    BalasHapus